Kamis, 26 November 2009

“CINTAKU DI 80 CORET”

Pagi nan mendung. Bulu kuduk berdiri merinding kedinginan. Padahal masih musim panas. Cuaca hari ini mengelabui penduduk kota. Selama tiga bulan lebih putaran kipas angin dan AC berkecepatan tinggi non stop di hampir semua rumah. Peralihan musim panas ke musim dingin ternyata bak jarum es menusuk sukma. Pagi ini, keperawanan kota Cairo masih terjaga karena belum dijamah oleh keributan dan macet di setiap ruas jalan. Aura ketenangan terpancar di sana-sini. Bukan penduduk mesir saja, bahkan mahasiswa-mahasiswa pendatang dari seluruh belahan bumi masih asyik dalam buaian mimpi.
Beda halnya dengan Nanda, semenjak kemarin sore mukanya seolah dipenuhi masalah. Seperti pemilik kedai melihat piutang yang menumpuk dipenghujung bulan, barang dagangan tak tersisa sedikitpun. Makan dan tidur terabaikan begitu saja. Posisinya masih seperti 15 jam yang lalu. Tas tergeletak di samping pintu kamar, dan sekujur tubuh bagaikan pohon tumbang terkapar sia-sia menghadap loteng.
"Gimana, Bro, kok masih kayak udang di penggorengan aja, dari kemaren sore meringkuk terus?" Tanya Heri menyentakkan lamunan teman akrabnya.
Nanda masih dibungkus penyesalan. Kejadian semalam membuat Nanda linglung. Semalaman ia termenung dan meratapi kebodohannya.
"Udalah, Bro... Jangan terlalu dipikirin. kalau memang dia suka sama kamu, gak akan kemana. Pasti nanti ketemu lagi." Ungkap Heri menenangkan pikiran temannya yang lagi gundah gulana.
Setelah beberapa menit kemudian, Heri melihat sahabatnya ini memang belum bisa diganggu.
"Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu. Jangan lupa makan. Cinta mah cinta, tapi jangan sampai makan juga lupa." Celetuk Heri sebelum berlalu.
"Kamu pandainya ngomong doang." Jawab Nanda dalam hati .
Pinta Heri agar makan seolah angin yang muncul dari selokan rumah makan; bau dan dipaksa agar menyumbat hidung. Pikirannya justru makin tak normal. Jadwalnya masak pagi ini telah Heri gantikan. Karena menunggu Nanda masak sama saja menunggu emas turun dari langit. Cinta memang bisa mengubah yang waras menjadi tidak waras. Apalagi yang awalnya tidak waras..?
"Coba kemarin aku pastiin. Apa dia benar suka sama aku..? nomor Handphonennya kuminta. Agghhhh…" sesalnya dalam hati.
Fatimah.. begitulah teman-temanya memanggil. Gadis Malaysia yang sekarang duduk ditingkat akhir syariah islamiyah ini.
Pikirannya melayang menembus dinding rumah. Badannya seolah ada di Bus 80 coret. Pertemuannya dengan Fatimah semalam, rasanya baru semenit yang lalu.
***
"Heri, teman kamu kemana?" tanya Jamal ingin tahu dengan dialek melayunya yang khas.
"Nah..kebetulan banget nih, Mal." Sambut Heri sambil mendekap bahu Jamal.
"Kamu kan satu daerah sama Fatimah.” Lanjutnya menodong. “Dan si Nanda, temanku itu sudah terjerat cintanya Fatimah."
"Hah..?” mulut Jamal menganga saking kagetnya. “Jadi..,” Jamal menerka-nerka, menggantung kalimat. “Ah, nggak mungkin, Her. Masa Fatimah jatuh cinta sama Nanda..? ana gak percaya." Sanggah Jamal setengah shock.
"Lagian mereka ketemu dimana, Her..?" selidiknya.
"Agghhhh… kamu payah bangat sih. Ketemunya di bis 80 coret.” Jawabnya singkat. “Kamu bisa bantu nggak..?" tanya Heri memastikan.
"Ha ha ha…" tawa jamal meledak. "80 coret..?" ulangnya dengan nada meledek Heri.
"Eeh…, kok kamu malah ketawa, Mal? Asal kamu tau yah, presiden Amerika, Barack Obama ketemu istrinya juga di Bus 80 Coret. Presiden Libya juga, ketemu sama istrinya di Bus 3 Jim, pas mau ke Hay Asyir." Ceramahnya berapi-api meyakinkan Jamal.
"Ha… ha… ha… ngawur kamu tuh, Her." Ketawanya Jamal makin menjadi-jadi.
“Kita duduk aja dulu. Bising.” Ajak Jamal sambil berjalan ke taman depan Fakultas Syariah Islamiyah. Merekapun berjalan menuju tempat duduk yang berbentuk bundar mengelilingi pohon hias di pinggir jalan kampus tersebut. Maklum, musim panas begini semua serasa membakar. Belum lagi orang mesir ngobrolnya kayak lagi orasi. Dua orang yang ngobrol tapi suaranya kayak seperti puluhan orang yang lagi demonstrasi, bikin suasana hati semakin mendidih.
"Ana juga gak tau gimana pastinya, Her." Ungkap Jamal mengawali perbincangan mereka.
"Cuman, sejak kemaren. Si Fatimah juga dengarnya lagi jatuh cinta gitu. Tapi aku kirain sama Bang Fadhli, yang sekarang baru masuk tamhidi S2 di Zamalek."
"Siapa..?" tanyak Heri kaget dengan mata melotot.
"Fadhli, beliau dari Kedah juga. Satu daerah juga dengan Fathimah. Tapi nggak tau lah, Her."
"Waduh, kalau sampe yang kamu bilang benar, bisa gawat nih." Komentar Heri sambil megang kepalanya. "Habis, mulai dari kemaren Nanda gak keluar dari rumah tuh."
"Kenapa?" Tanya Jamal ingin tahu, memfokuskan pandangannya tepat di mulut Heri.
"Itulah yang tidak bisa kujelaskan,” ujarnya pasrah sembari menarik nafas dalam-dalam. Tapi kalau ditanya, Nanda hanya bilang "Fathimah itu benar gak, Her suka sama Aku?"
Jamal terdiam. Pandangannya kembali ia palingkan ke arah pintu utama Fakultas Syariah Islamiyah. Matanya sambil melihat ulah konyol orang Mesir yang lagi perang urat syaraf dengan omongan yang tidak dimengerti.
Sedangkan Heri masih belum percaya dengan cerita Jamal tadi. Dia teringat sama Fadhli, seniornya Fathimah.
"Apakah itu benar?" bisiknya dalam hati. "Ahg…, moga saja tidak.” Lanjutnya membatin.
"Her, tengok orang mesir tuh.” Serunya sambil menunjuk. “Semuannya kayak anak-anak. Padahal jenggotnya lebat gitu."
Heri terbangun dari lamunannya. Setelah pikirannya melayang memikirkan keberadaan sahabat dekatnya, Nanda.
"Tapi aku yakin. Syaikh Ali Jum’ah dulu gak seperti mereka itu." Celoteh Heri ikut-ikutan menonton ulah mahasiswa Mesir tersebut.
"Ha ha ha…" tawa mereka pecah.
"Aku duluan yah, Her. Mau muhadharah dulu. Kamu masuk nggak..?" tanyanya dengan nada mengajak.
"Memang maddah apa, Mal…? Fiqh Maudhu'i yah..?"
"Yup! Ikutan nggak…?” Godanya.
Heri terdiam sebentar. "Aku gak masuk, Mal. Mau langsung pulang aja." Jawabnya sekenannya.
"Dasar! Malas terus." balasnya enteng sambil berlalu. Heri tersenyum kecut, matanya mengikuti kaki jamal menaiki anak tangga satu persatu.
****
"'Ala gambak ya asthoh…" pinta Nanda ke pak supir. Kemudian dia turun dan langsung menuju Mesjid al-Faruq, Musallas yang terkenal dengan cat merahnya.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga." Bisiknya dalam hati diikuti senyuman yang mengembang di sudut bibirnya.
Nanda pun langsung menuju tempat wudlu yang ada di samping kanan mesjid. Setelah selesai berwudlu, Nanda masuk ke mesjid dan langsung masuk ke shaf jama'ah yang lagi shalat. Namun, dia tidak mendapat jama'ah kecuali satu rakaat lagi.
Sebenarnya musim panas begini, kalau bukan karena perlu sekali orang nggak akan keluar rumah. Pagi tadi dinginnya sangat luar biasa, tapi sore ini panasnya serasa membakar sekujur tubuh. Kalau hanya kebutuhan biasa, biasanya orang menunda dulu sampai panasnya redup karena tidak tahan dengan sengatan panas mentari. Nanda tetap ingin bertemu denan Fathimah. Gadis yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Gadis itu tinggal di daerah Musallas dan Ia tinggal di Suk Madrasah, daerah setelah Musallas. Panasnya matahari tidak lagi ia hiraukan. Demi cinta yang belum pasti. Seteleh selesai shalat Ashar, Nanda melemparkan pandangannya kesudut kiri mesjid dan berhenti di pintu masuk mesjid sebelah kiri. Dia melihat bayangan seorang akhwat lewat di depan pintu mesjid.
"Fathimah…?" Panggilnya sambil beranjak dari tempat duduknya dan mempercepat langkah untuk menyusul. Jantungnya berdegup lima kali lebih cepat dari biasanya. Setelah sampai ke pintu, bayangannyapun tak tersisa. Nanda terdiam. Keinginannya yang besar untuk bertemu Fathimah sore ini membuatnya berhalusinasi.
“Aku belum siap mendengar jawaban dari Fathimah, kalau ternyata perkataannya kemarin itu tak lebih dari canda dan persahabatan.” Nurani dan keinginannya beradu, antara pulang dan lanjut ketemu Fathimah. Bimbang menguasai hatinya. Akhirnya, keinginannya untuk ketemu Fathimah sore ini dibatalkan. Berhubung cuaca kurang bersahabat. Maklum, lagi peralihan musim. Juga karena ketidaksiapan Nanda jika menerima kemungkinan terburuk dari keputusan Fathimah.
Setelah 30 menit sabar melewati jalan raya Cairo yang macet total dari Musallas ke Sabi', akhirnya penderitaan tersebut berakhir. Sempit dan bau yang bermacam-macam di bus hilang seketika melihat kehadiran Fathimah di depan pelupuk matanya, yang baru saja naik di mahattoh Hay Tsamin, tepat dimana mereka ketemu kemarin dan juga sebelum-sebelumnya, pertemuan yang tidak pernah dijanjikan. Mereka berdua saling pandang. Nanda salah tingkah, mau mendekat malu dan grogi. Karena Fathimah bersama temannya, Rahma melihat gerak geriknya.
"Dasar cinta." Celetuk Rahma geli melihat tingkah keduanya.
Nanda keringat dingin. Apalagi melihat Fathimah mendekat ke arahnya. Ia nggak habis pikir, gadis melayu setahunya adalah pemalu. Tapi, semuanya dapat berubah seketika.
"Abang..," panggil Fathimah lembut seraya mengulurkan sepucuk surat ke tangan Nanda. "Adik tunggu balasannya." lanjutnya dengan sesungging senyum manis di bibirnya yang tipis.
Nanda meraihnya dengan tangan gemetar. Keringat dingin meluap dari pori-pori kulitnya. Dimasukkannya surat beramplop biru dengan motif bunga menghias pinggirnya ke tas lusuhnya. Ada perasaan tak sabar ingin segera membacanya.
“Dek Fathimah mau ke masjid Azhar yah?” tanyanya memecah bola kesunyian yang mengepung mereka. Dan kebetulan bis 80 coret yang lagi mereka tumpangi sekarang sepi penumpang. Fathimah hanya menganngguk seraya tersenyum, membuat hati Nanda kebat-kebit melihatnya. Kebiasaan Fathimah dan kebanyakan mahasiswa Malaysia sangat suka talaqqi di masjid Azhar selepas jam-jam kuliah. Mendengarkan kuliah-kuliah agama dari Syaikh-Syaikh Azhar yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya.
“Abang mau ke Azhar juga ya atau mau kuliah?” Fathimah balik nanya. Membuat Nanda kelabakan.
“Oh, iya. Abang mau ke masjid Azhar juga. Hari ini abang tak ada maddah.” Jawabnya cepat. Padahal tadi ia naik bis ini dari Hay ‘Asyir tanpa planning apapun selain hanya untuk menghibur hatinya yang sedang gundah-gulana. Gak tahunya berjodoh lagi se-bis dengan Fathimah, gadis pujaannya. “Apa ini artinya jodoh?” Nanda membatin, tapi sudut bibirnya tersenyum dalam harap. Dan jauh di lubuk hatinya ia berdoa agar bis ini tidak segera sampai ke Darrosah. Ingin rasanya menghabiskan seluruh masa dalam perjalanan di bis 80 coret dengan orang yang dicinta meskipun dibalut diam dan kebisuan.
***
Nanda buru-buru pulang ke flat. Sepucuk surat dari Fathimah telah menjadi jawaban dari kerisauannya selama ini. Tempat jualan ayam di depan flat yang baunya minta ampun, tiba-tiba berubah menjadi parfum casablanca yang menerobos dinding hidung mancungnya. Perutnya yang dari kemaren sore belum diisi apa-apa langsung kenyang. Seringnya dia bertemu dengan Fathimah di bis 80 coret telah menumbuhkan bibit cinta di hatinya walaupun mereka jarang bertegur sapa. Fathimah yang selalu menyempatkan waktunya untuk talaqqi di mesjid Azhar sepulang kuliah, hampir selalu bertemu dengan Nanda di bis 80 coret, karena jam masuk kuliah Nanda sore hari bertepatan dengan jam-jam berakhirnya mata kuliah di kuliah banat. Tempat pertemuan mereka di mahattoh Awwal Sabi’, depan kuliah banat dan berakhir di mahatoh Darrasah, dekat kuliah banin dan masjid Azhar.
Tanpa salam, Nanda langsung masuk kamar dan menutup pintu dengan rapat. Heri dirundung rasa bingung. Kejengkelannya terhadap teman akrabnya ini makin menjadi-jadi setelah melihat sikapnya yang menyebalkan.
"Gara-gara Fathimah, semua jadi berantakan gini." Umpatnya dalam hati.
Nanda gemetar dan takut membuka surat Fathimah ini. Tangannya seakan kesentrum listrik, lidahnyapun kaku dan matanya terfokus ke sebaris tulisan di sampul luar. By: Fathimah binti Sulaiman. Dimulainya membaca dengan penuh penghayatan.
Salam untuk, Abang.
Sesunguhnya berat bagiku sebagai gadis melayu untuk menggores di selembar kertas putih ini. Namun, Adik juga tak dapat menyimpan rasa ini. Apalagi sampai membohongi perasaan ke Abang. Adik tak bisa menulis surat cinta; moga coretan pendek ini abang faham. Semuanya adik tuangkan dalam puisi ini.
Cinta.., memang aneh dan gila, asinnya garam, manis seketika.
Cinta.., aku melayang di alam mimpi, membuat semuanya menjadi indah dan sejuk.
Cinta.., jangan menjauh dariku, silahkan mendekat kepadaku.
By: Fathimah binti sulaiman
Nanda tenggelam dalam bingkai kata-kata Fathimah. Saking senangnya, hampir dia tidak bisa meneruskan bacaan ke paragraf selanjutnya. Ibarat seorang anak dikasih es krim setelah lama merengek. Bait demi bait ia fahami dan hampir semua isi surat telah Nanda hafal. Setelah selesai membaca surat tersebut, Nanda seakan berasa di syurga dunia. Jiwanya dipenuhi bunga-bunga cinta. Semua menjadi sejuk dan indah. Ternyata Fathimah memang juga mencintainya.
Sejurus kemudian, Nanda mengambil kertas dan pulpen yang ada di atas meja belajar. Dengan gamang, Nanda berusaha merangkai huruf demi huruf menjadi kata, kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang mengandung makna cinta yang dalam. Nanda benar-benar fokus stadium akhir dalam menulis surat ini. Sudah lama dia tidak menulis surat seserius ini. Apalagi setelah berkembangnya teknologi. Orang-orang saling merayu dan menggombal via chating atau SMS. Tapi, mereka kembali seperti zaman dulu. Dengan secarik kertas yang penuh dengan bumbu-bumbu cinta. Nanda dan Fathimah memulai menjalin cinta. Jari-jari Nanda menari-mari dalam merangkai kalimat yang penuh dengan cinta yang tulus.
Bermacam umpatan dan celetukan dari ruangan tengah dia abaikan. Kejengkelan Heri pun menjadi-jadi. Akhirnya Heri capek sendiri. Dengan terpaksa, dia membereskan ruangan yang kelihatan kumuh dan kotor. Heri habis akal, dan omelannya dicuekin temannya begutu saja. Tapi, memang yang dia tau Nanda lagi tidak stabil karena cintanya ke Fathimah, gadis Malaysia itu.
Wa'alaikum salam buat Adinda
Inginku naik ke gunung Uhud, tuk' memberitahukan pada dunia akan kebahagiaanku. Orang yang ku tak sangka telah menjeratku ke dalam mahligai cinta. Pertemuan kita di Bus 80 coret sungguh sangat bersejarah. Membuatku betah hidup di negeri Kinanah.
Adinda Fathimah…
Bahagiaku tiada tara..,Terobati sudah gundah gulana yang sempat merasuki dada dan jiwa. Sepucuk surat adinda, telah melebur kegelisahan jiwa abanganda.
Ingin kukatakan, arti cinta kepada dirimu dinda
Agar kau mengerti, arti sesungguhnya
Tak akan terlena dan terbawa alunan bunga asmara
Yang kan membuat dirimu sengsara
Cinta suci luar biasa, rahmat sang pencipta
Kepada semua hamba-hambanya
Jangan pernah kau berpaling dari cinta
Cinta dari sang maha pencipta
Kau pasti tergoda
Terimakasihku padamu 80 coret.
By: Nanda Ahmad
Nanda melipat surat balasannya hati-hati, dimasukkannya ke dalam amplop berwarna biru langit, secerah nuansa hatinya saat ini akan masa depan cintanya. Dan besok sore ia akan memberikan surat itu buat orang yang telah mencuri hatinya di tengah-tengah sempit dan sumpeknya 80 coret. Bus idaman Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) karena rutenya adalah daerah-daerah tempat tinggal, pusat organisasi dan tempat kuliah kebanyakan Masisir. Bus 80 coret telah “mencopet” hatinya. Tak sabar rasanya menunggu esok tiba. Nanda pun tertidur dalam balutan mimpi indah.
Sufrin Efendi Lubis

Tidak ada komentar: